KESAKTIAN
PERATURAN PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA
ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002
Baru-baru
ini pada Rabu 25 Mei 2016 Presiden Republik Indonesia Joko Widodo telah
menandatangani PERPPU Nomor 1 Tahun 2016 yang merupakan perubahan kedua atas
undang-undang nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak. Adapun PERPPU dikeluarkan
berdasarkan pertimbangan bahwa kekerasan seksual terhadap anak semakin
meningkat secara signifikan dari hari ke hari dan mengancam, membahayakan jiwa
anak-anak serta merusak kehidupan anak-anak dan masa depan bangsa. Dan oleh
karena itu, pemerintah memandang sanksi pidana yang dijatuhkan bagi pelaku
kekerasan seksual terhadap anak belum mengcover secara komperhensif terjadinya
kekerasan seksual terhadap anak.
Perubahan
yang dilakukan dalam PERPPU ini adalah pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002, sehingga berbunyi:
1.
Setiap orang yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D (setiap orang dilarang melakukan Kekerasan
atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan orang lain) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);
2.
Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berlaku pula bagi setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya
atau dengan orang lain;
3.
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai
hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang
menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara
bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
4.
Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada
pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 76D;
5.
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan
luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi,
dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau
pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun;
6.
Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana
tambahan berupa pengumuman identitas pelaku;
7.
Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud ayat (4)
dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan
pendeteksi elektronik;
8.
Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu
pelaksanaan tindakan;
9.
Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi
pelaku Anak.
Selain itu, di antara Pasal 81 dan Pasal 82 disisipkan 1
(satu) pasal yakni Pasal 81A yang berbunyi sebagai berikut:
1.
Tindakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7) (dikenai pidana tambahan berupa pengumuman
identitas pelaku) dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan
dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok;
2.
Pelaksanaan tindakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan secara berkala oleh
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial,
dan kesehatan;
3.
Pelaksanaan kebiri
kimia disertai dengan rehabilitasi;
4.
Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara pelaksanaan tindakan dan rehabilitasi diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
1.
Setiap orang yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E (setiap orang dilarang melakukan Kekerasan
atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian
kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah);
2.
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai
hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang
menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara
bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
3.
Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada
pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 76E;
4.
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 76E menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan
luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi
reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga)
dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
5.
Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sampai dengan ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa
pengumuman identitas pelaku;
6.
Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) sampai dengan ayat (4) dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan
pemasangan alat pendeteksi elektronik;
7.
Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu
pelaksanaan tindakan;
8.
Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku Anak.
Di antara Pasal 82 dan Pasal 83, menurut Perppu ini,
disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 82A yang berbunyi sebagai berikut:
1.
Tindakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 82 ayat (6) (dilaksanakan selama dan/atau setelah
terpidana menjalani pidana pokok;
2.
Pelaksanaan tindakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan secara berkala oleh
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial,
dan kesehatan;
3.
Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara pelaksanaan tindakan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam pandangan ini hemat kami, Presiden telah gagal dalam menjawab
permintaan publik terkait kajian, analisis dan data, mengenai jumlah rata-rata
vonis pidana bagi pelaku kejahatan seksual pada anak, dan rata-rata tuntutan
yang diberikan Jaksa Penuntut, jumlah rehabilitasi korban, termasuk mengenai
jumlah residivis kekerasan seksual pada anak. Kami melihat
Presiden dalam menanggapi fenomena kekerasan seksual terhadap anak terlalu
terburu-buru tanpa diikuti dengan suatu pertimbangan yang matang. Di sisi lain
juga Presiden menggunakan wewenangnya secara tidak masuk akal memang Perppu untuk
mengeluarkan PERPPU adalah hak Presiden sebagaimana termakhtub dalam Pasal 22
ayat (1) UUD 1945 sebagai
jawaban atas “dalam keadaan dan kegentingan” yang memaksa.
Adapun pendekatan memperberat pidana bagi
pelaku kejahatan seksual terhadap anak merupakan perspektif yang masih dipertahankan oleh pemerintah sejak
perubahan Pertama atas UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada 2014 yaitu UU Nomor 35 Tahun 2014 (UU No. 35 Tahun 2014)
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.
Undang-undang ini diterbitkan
berdasarkan asumsi bahwa kejahatan seksual terhadap anak bisa dikurangi dengan
memperberat ancaman hukuman terhadap para pelakunya. Hasilnya, ternyata dijawab
sendiri oleh Pemerintah dengan menyebutkan bahwa saat ini Indonesia sedang
memasuki masa genting karena maraknya kejahatan kekerasan seksual pada anak.
Sampai saat ini tidak satu kalipun terdengar kajian dari Pemerintah terkait
berhasil atau tidaknya pendekatan pemberatan pidana sebagaimana yang diatur
dalam UU No 35 Tahun 2014.
Dalam penjelasan umum UU No. 35 Tahun
2014 menyebutkan:
Walaupun instrumen
hukum telah dimiliki, dalam perjalanannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak belum dapat berjalan secara efektif karena masih
adanya tumpang tindih antar peraturan perundang-undangan sektoral terkait
dengan definisi Anak. Di sisi lain, maraknya kejahatan terhadap Anak di Masyarakat,
salah satunya adalah kejahatan seksual, memerlukan peningkatan komitmen dari
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat serta semua pemangku kepentingan
yang terkait dengan penyelenggaraan Perlindungan Anak.
Untuk efektivitas
pengawasan penyelenggaraan Perlindungan Anak diperlukan lembaga independen yang
diharapkan dapat mendukung Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam
penyelenggaraan Perlindungan Anak
Perubahan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga mempertegas
tentang perlunya pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan
terhadap Anak, untuk memberikan efek jera, serta mendorong adanya langkah
konkret untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial Anak korban dan/atau
Anak pelaku kejahatan. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi Anak
korban dan/atau Anak pelaku kejahatan di kemudian hari tidak menjadi pelaku
kejahatan yang sama.
Dalam menyikapi terbitnya PERPPU No.
1 Tahun 2016 ini, kami melihatnya bahwa Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Perppu berdasarkan analisis
dan kajian yang keliru dan kurang tepat terhadap persoalan kekerasan seksual di Indonesia
khususnya yang terjadi terhadap anak
Pertama, dalam pertimbangan Perppu ini,
Pemerintah menyatakan secara jujur bahwa bahwa sanksi pidana yang dijatuhkan
bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak belum memberikan efek jera dan
belum mampu mencegah secara komprehensif terjadinya kekerasan seksual terhadap
anak, sehingga perlu segera mengubah UU Perlindungan Anak. Pertimbangan ini sama dengan alasan
dalam UU No 35 Tahun 2014
tentang Perubahan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kedua Regulasi
tersebut berada pada spectrum yang sama yaitu menitik beratkan pada pemberatan
pidana, efek jera dan pencegahan komprehensif. Pemerintah tidak
menganalisis, mengevaluasi terkait dengan penerapan dan penegakan hukum
“kekerasan seksual terhadap anak” sehingga yang melatarbelakangi disahkannya Perppu ini, tidak jelas
pula apa yang dimaksud pemerintah dengan pencegahan yang komprehensif.
Alasannya sederhana, sebab didalam Perppu ini, justru tidak ditemukan apa pun
mengenai pencegahan yang komprehensif, pendekatan satu-satunya adalah
pendekatan pidana, tidak ada pendekatan lain semisal keluarga, sosial,
psikologis dan lingkungan.
Kedua, Pemerintah secara jelas tidak memahami
masalah dilapangan khususnya masalah penegakkan hukum pidana. Pencegahan
komprehensif sebagaimana dimaksudkan dalam Perppu ini hanya menyasar kejahatan
yang diatur dalam Undang-Undang Perindungan
anak, lebih Spesifik Pasal 76D dan 76E tentang Persetubuhan dan Percabulan
dengan anak. Perppu ini malah
tidak menjawab persoalan Kejahatan Perdagangan Orang dan eksploitasi seksual
yang melibatkan anak, Kekerasan dalam Rumah Tangga, kasus pedofil yang
memanfaatkan regulasi dispensasi perkawinan dengan anak dan kasus-kasus lainnya
di luar lingkup Pasal 76D dan 76E UU Perlindungan anak.
Ketiga, Pemberatan pidana dalam Perppu ini
sangat emosional namun tanpa perumusan hukum yang rasional dan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan yang ada. Pidana minimum khusus masih
dipertahankan, kali ini, minimal dapat mencapai 5 sampai 10 tahun penjara.
Pidana maksimal mencapai 15 tahun sampai 20 tahun dengan beberapa syarat.
Selain itu, Pemerintah juga memperberat 1/3 dari pidana tersebut dalam beberapa
kondisi semisal pengulangan tindak pidana dan pidana dilakukan oleh orang-orang
yang dipercaya dan seharusnya melindungi anak. Tidak jelas apakah pemberatan
bisa dilakukan dua kali atau hanya satu kali. Pemberatan ini bisa dipahami, namun yang menjadi soal,
bagaimana teknis penjatuhannya pidananya? Nampaknya penyusun Perppu ini perlu membaca ulang KUHP.
Dalam Pasal 12 ayat (4) KUHP disebutkan bahwa pidana penjara maksimal adalah 20
tahun penjara, artinya dalam hal pidana diancam dengan pidana 20 tahun penjara,
pemberatan penjara mencapai 1/3, tidak dapat lagi diberikan. Dalam hal pidana
diancam 15 tahun, pemberatan juga hanya dilakukan satu kali antara pengulangan
tindak pidana dan pidana dilakukan oleh orang-orang yang dipercaya dan
seharusnya melindungi anak.
Pidana minimal 10 tahun juga tidak rasional, alasannya, pidana ini akan
mengunci Pengadilan untuk menjatuhkan pidana, tidak akan ada lagi pertimbangan
tentang berat ringannya perbuatan pelaku dan imbasnya pidana dijatuhkan oleh
Pengadilan tidak lagi dilakukan secara proporsional. Sebagai perbandingan,
pidana 10 tahun setara dengan Pasal 354 ayat (2) KUHP tentang Penganiayaan
Berat yang mengakibatkan Kematian. Pemerintah terlihat tidak memiliki analisis
dan kajian yang cukup terkait mengukur besar rendahnya ancaman pidana. Memasang
pidana minimal 10 tahun menunjukkan bahkan Presiden dan Pemerintah RI tidak
lagi percaya dengan kinerja peradilan di Indonesia.
Keempat, PERPPU ini memperkenalkan konsep tindakan, ada dua tindakan yaitu
kebiri dan pemasangan Cip. Sebelum membahas terkait pemasangan Cip dan Kebiri
Kimiawi yang tidak pernah diatur di hukum Indonesia, kami melihat apakah posisi pemasangan cip
dan pelaksanaan kebiri kimiawi tidak melanggar Hak Asasi Manusia
yang berlaku? Perumusan
Perppu No 1 Tahun 2016 bisa jadi tidak melalui proses harmonisasi yang memadai
sehingga pengaturan pemasangan Cip dan Kebiri Kimiawi menjadi tidak rasional
untuk dijadikan sebagai salah satu jenis sanksi. Sayangnya, pengaturan
pemidanaan yang dianut dalam Perppu No 1 Tahun 2016 semakin membuat pengaturan
pidana di Indonesia menjadi amburadul karena pengaturan harmonisasi yang
berantakan.
Kelima, Terkait pemasangan Cip, sebelumnya tidak satupun peraturan
perundang-undangan di Indonesia yang mengenal istilah “cip”, bahkan penjelasannya
tidak ditemukan dalam PERPPU ini. Satu-satunya petunjuk adalah pemasangan Cip
dilaksanakan selama dan/atau setelah terpidana menjalani pidana pokok, apabila
terkait pebuatan cabul atau dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua)
tahun dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok apabila terkait
persetubuhan dengan anak. Di sini tidak dijelaskan apa fungsi dari cip ini, apabila maksudnya
untuk melacak keberadaan orang yang dipasangi cip, maka aneh apabila cip
dipasang selama terpidana menjalani pidana pokok. Pemasangan cip ini pada
dasarnya lebih mirip mekanisme teknis dari pada tindakan. Hemat kami, para penyusun Perppu agak kerepotan
untuk mengidentifikasi sendiri bagaimana pengaturan Cip tersebut, sehingga
meletakkannya seakan-akan pemasangan Cip adalah sanksi berupa tindakan.
Keenam, tindakan kebiri menjadi salah satu jantung dari pengaturan PERPPU ini.
Kebiri kimiawi ditempatkan sebagai tindakan, yang dijatuhkan sebagai pilihan
oleh hakim, artinya hakim bisa memilih menjatuhkan tindakan kebiri atau tidak.
Tidak ada konsep kesepakatan dari orang yang akan dikebiri, melihat dari
pernyataan Menteri Sosial sebelumnya yang meminta perbandingan dengan negara
seperti Inggris, Australia dan Jerman, maka Kebiri harusnya dilaksanakan secara
voluntary atau sukarela. Pemaksaan seperti ini akan mengakibatkan terjadinya
penyiksaan dan melanggengkan kondisi balas dendam yang mungkin terjadi.
Kebiri dilaksanakan selama dan/atau setelah terpidana menjalani pidana
pokok apabila terkait pebuatan cabul atau dikenakan untuk jangka waktu paling
lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok
apabila terkait persetubuhan dengan anak. Pengaturan ini juga cukup membuat
pertanyaan karena apabila kebiri dilaksanakan selama terpidana menjalani pidana
pokok, sebab efek dari kebiri kimiawi tidaklah permanen dan membutuhkan
penanganan yang simultan. Kalaupun suntikan dilakukan selama 2 tahun setelah
pidana pokok, lalu bagaimana apabila pidana pokok adalah pidana mati atau
seumur hidup?
Kami berpandangan apabila kebiri dinyatakan sebagai pidana
tindakan seharusnya tidak dijatuhkan bersamaan dengan pidana pokok. Sayangnya
dalam Perppu ini, kebiri dilaksanakan selama dan/atau setelah pidana pokok
dengan diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu
pelaksanaan tindakan. Artinya, konsep tindakan yang selama ini dikenal dalam
perundang-undangan di Indonesia diatur secara berbeda dalam PERPPU ini. Dalam Pasal 81 ayat (3) PERPPU ini
dijelaskan bahwa Pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi. Tidak
jelas apakah rehabilitasi yang dimaksudkan adalah kebiri itu sendiri atau
tindakan rehabilitasi lainnya. Perppu No 1 Tahun 2016 tidak menjelaskan bagaimana rehabilitasi yang akan
dilakukan, padahal berdasarkan rekomendasi banyak pihak termasuk kalangan
dokter, rehabilitasi menjadi pendekatan paling rasional dalam konteks pedofil.
Ketujuh, PERPPU ini terlihat seperti berusaha memposisikan Kebiri sebagai
keputusan yang tepat, seakan penanganan pada pelaku dengan rehabilitasi dan
tindakan kebiri akan memperbaiki konsep pencegahan. Namun, nampaknya pemerintah
masih lebih mencari popularitas dari pada solusi, sebab masih ditemukan adanya
Pidana Mati. Pidana Mati secara serta merta mengkhianati tujuan dari
rehabilitasi dan tindakan itu sendiri. Sebab tidak akan ada kesempatan kedua
bagi orang yang dipidana mati.
Adanya pidana mati juga menunjukkan jalan instan dari pemerintah untuk
mempersempit makna dari penanganan komprehensif kekerasan seksual anak. Pidana
mati adalah cara paling mudah untuk menunjukkan pada masyarakat bahwa pemerintah tegas, namun sebenarnya pidana mati justru bukti bahwa
pemerintah sudah putus asa dan tidak dapat lagi bekerja secara baik untuk
menangani kasus-kasus kekerasan seksual anak. Dilain sisi, klaim pemerintah
yang menyatakan mendapat dukungan pidana mati, menunjukkan bahwa masyarakat
sedang tidak percaya pada penanganan kekerasan seksual yang selama ini
dijalankan pemerintah, sehingga pidana mati adalah salah satu cara untuk
memuaskan amarah masyarakat yang kecewa dengan kinerja dari Pemerintah.
Kedelapan, biaya menjadi hal menarik yang perlu ditelusuri, berapa biaya yang akan
dikeluarkan pemerintah? Dalam PERPPU telah dijelaskan bahwa dalam putusan hakim
akan dipastikan berapa lama kebiri dilakukan. Ada dua kemungkinan, selama
pidana pokok artinya kebiri dilakukan di penjara, atau 2 tahun pasca penjatuhan
pidana pokok. Skema ini
mensyaratkan Pemerintah harus menganggarkan biaya yang begitu besar untuk
melakukan penyuntikan, yang dalam pengalaman beberapa Negara harus diberikan
secara rutin selama 2 minggu sekali. Maka apabila terpidana dijatuhi pidana
minimal saja dalam Pasal 81, maka akan ada biaya minimal 240 kali suntikan.
Atau dengan skema 2 tahun pasca pidana pokok maka akan ada tambahan sekitar 48
suntikan. Biaya ini belum temasuk biaya pengawasan oleh beberapa kementerian. Selain itu, juga perlu dipikirkan
terkait pemasangan Cip. Sampai saat ini tidak dijelaskan berapa biaya yang akan
keluar untuk pemasangan cip bagi pelaku. Belum diketahuinya cara kerja Cip ini
bisa jadi akan membengkakkan biaya, seperti biaya tekhnologi dan operatornya.
Kesembilan, dalam PERPPU Kebiri ini pemerintah jelas tidak memperhatikan korban. Tidak satu
katapun yang menyebutkan penguatan hak korban, tidak kompensasi tidak juga
perbaikan fasilitas peradilan atau penanganan untuk korban, semua fokus
terpusat pada pelaku. Berbeda dengan pelaku yang dimanjakan PERPPU ini, korban
tidak diberikan konsep rehabilitasi, tidak ada skema penambahan biaya, tidak
ada skema pendambahan hak, tidak ada skema pengawasan dan pendampingan.
Kegentingan ini yang harusnya menjadi fokus dari pemerintah. Pendekatan pidana semata sampai saat
ini terbukti tidak membuahkan hasil. Ketimpangan perhatian pemerintah terhadap Pelaku dan korban
menunjukkan bahwa ada yang salah dari kebijakan hukum Pemerintahan Joko Widodo.
Berdasarkan analisis diatas maka kami
berkesimpulan sebagai berikut:
Pertama, PERPPU ini tidak akan dapat secara efektif menekan angka kejahatan
seksual termasuk kejahatan seksual terhadap anak di Indonesia.
Kedua,
PERPPU ini menunjukkan bahwa politik hukum pidana yang dianut pemerintah tidak
berdasarkan kajian dan alasan yang rasional namun mendasarkan pada alasan-alasan emosional dan irasional.
Ketiga, PERPPU ini juga menunjukkan bahwa pemerintah tidak pernah memiliki
basis data yang cukup baik terkait angka kekerasan seksual yang dilaporkan,
dituntut, dan disidangkan, serta kajian residivis sepanjang mengenai kejahatan
seksual. Sehingga PERPPU ini dikeluarkan tanpa adanya basis kajian mengenai
cost-benefit analisis yang seharusnya menjadi syarat
utama kebijakan kriminalisasi.
Keempat, PERPPU ini juga dapat menjadi dasar
untuk membuka lebih luas peluang korupsi di dalam sistem peradilan pidana
karena persoalan penegakkan hukum yang lebih krusial untuk diatur justru tidak
ditemukan pengaturannya.
Kelima, Posisi korban
akan semakin lemah karena pengaturan rehabilitas yang komprehensif bagi korban
kekerasan seksual tidak diatur dalam PERPPU ini
Comments
Post a Comment