Skip to main content

KESAKTIAN PERPPU NOMOR 1 TAHUN 2016

KESAKTIAN PERATURAN PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002

Baru-baru ini pada Rabu 25 Mei 2016 Presiden Republik Indonesia Joko Widodo telah menandatangani PERPPU Nomor 1 Tahun 2016 yang merupakan perubahan kedua atas undang-undang nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak. Adapun PERPPU dikeluarkan berdasarkan pertimbangan bahwa kekerasan seksual terhadap anak semakin meningkat secara signifikan dari hari ke hari dan mengancam, membahayakan jiwa anak-anak serta merusak kehidupan anak-anak dan masa depan bangsa. Dan oleh karena itu, pemerintah memandang sanksi pidana yang dijatuhkan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak belum mengcover secara komperhensif terjadinya kekerasan seksual terhadap anak.
Perubahan yang dilakukan dalam PERPPU ini adalah pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, sehingga berbunyi:
1.      Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D (setiap orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);
2.      Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain;
3.      Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
4.      Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D;
5.      Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun;
6.      Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku;
7.      Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan pendeteksi elektronik;
8.      Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan;
9.      Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak.
Selain itu, di antara Pasal 81 dan Pasal 82 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 81A yang berbunyi sebagai berikut:
1.      Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7) (dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku) dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok;
2.      Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan;
3.      Pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi;
4.      Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan dan rehabilitasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
1.      Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E (setiap orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);
2.      Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
3.      Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E;
4.      Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
5.      Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku;
6.      Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik;
7.      Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan;
8.      Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku Anak.
Di antara Pasal 82 dan Pasal 83, menurut Perppu ini, disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 82A yang berbunyi sebagai berikut:
1.      Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (6) (dilaksanakan selama dan/atau setelah terpidana menjalani pidana pokok;
2.      Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan;
3.      Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam pandangan ini hemat kami, Presiden telah gagal dalam menjawab permintaan publik terkait kajian, analisis dan data, mengenai jumlah rata-rata vonis pidana bagi pelaku kejahatan seksual pada anak, dan rata-rata tuntutan yang diberikan Jaksa Penuntut, jumlah rehabilitasi korban, termasuk mengenai jumlah residivis kekerasan seksual pada anak. Kami melihat Presiden dalam menanggapi fenomena kekerasan seksual terhadap anak terlalu terburu-buru tanpa diikuti dengan suatu pertimbangan yang matang. Di sisi lain juga Presiden menggunakan wewenangnya secara tidak masuk akal memang Perppu untuk mengeluarkan PERPPU adalah hak Presiden sebagaimana termakhtub dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 sebagai jawaban atas “dalam keadaan dan kegentingan” yang memaksa.
Adapun pendekatan memperberat pidana bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak merupakan perspektif yang masih dipertahankan oleh pemerintah sejak perubahan Pertama atas UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada 2014 yaitu UU Nomor 35 Tahun 2014 (UU No. 35 Tahun 2014) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang ini diterbitkan berdasarkan asumsi bahwa kejahatan seksual terhadap anak bisa dikurangi dengan memperberat ancaman hukuman terhadap para pelakunya. Hasilnya, ternyata dijawab sendiri oleh Pemerintah dengan menyebutkan bahwa saat ini Indonesia sedang memasuki masa genting karena maraknya kejahatan kekerasan seksual pada anak. Sampai saat ini tidak satu kalipun terdengar kajian dari Pemerintah terkait berhasil atau tidaknya pendekatan pemberatan pidana sebagaimana yang diatur dalam UU No 35 Tahun 2014.
Dalam penjelasan umum UU No. 35 Tahun 2014 menyebutkan:
Walaupun instrumen hukum telah dimiliki, dalam perjalanannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak belum dapat berjalan secara efektif karena masih adanya tumpang tindih antar peraturan perundang-undangan sektoral terkait dengan definisi Anak. Di sisi lain, maraknya kejahatan terhadap Anak di Masyarakat, salah satunya adalah kejahatan seksual, memerlukan peningkatan komitmen dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat serta semua pemangku kepentingan yang terkait dengan penyelenggaraan Perlindungan Anak.
Untuk efektivitas pengawasan penyelenggaraan Perlindungan Anak diperlukan lembaga independen yang diharapkan dapat mendukung Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan Perlindungan Anak
Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga mempertegas tentang perlunya pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap Anak, untuk memberikan efek jera, serta mendorong adanya langkah konkret untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial Anak korban dan/atau Anak pelaku kejahatan. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi Anak korban dan/atau Anak pelaku kejahatan di kemudian hari tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama.
Dalam menyikapi terbitnya PERPPU No. 1 Tahun 2016 ini, kami melihatnya bahwa Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Perppu berdasarkan analisis dan kajian yang keliru dan kurang tepat terhadap persoalan kekerasan seksual di Indonesia khususnya yang terjadi terhadap anak
Pertama, dalam pertimbangan Perppu ini, Pemerintah menyatakan secara jujur bahwa bahwa sanksi pidana yang dijatuhkan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak belum memberikan efek jera dan belum mampu mencegah secara komprehensif terjadinya kekerasan seksual terhadap anak, sehingga perlu segera mengubah UU Perlindungan Anak. Pertimbangan ini sama dengan alasan dalam UU No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kedua Regulasi tersebut berada pada spectrum yang sama yaitu menitik beratkan pada pemberatan pidana, efek jera dan pencegahan komprehensif. Pemerintah tidak menganalisis, mengevaluasi terkait dengan penerapan dan penegakan hukum “kekerasan seksual terhadap anak” sehingga yang melatarbelakangi disahkannya Perppu ini, tidak jelas pula apa yang dimaksud pemerintah dengan pencegahan yang komprehensif. Alasannya sederhana, sebab didalam Perppu ini, justru tidak ditemukan apa pun mengenai pencegahan yang komprehensif, pendekatan satu-satunya adalah pendekatan pidana, tidak ada pendekatan lain semisal keluarga, sosial, psikologis dan lingkungan.
Kedua, Pemerintah secara jelas tidak memahami masalah dilapangan khususnya masalah penegakkan hukum pidana. Pencegahan komprehensif sebagaimana dimaksudkan dalam Perppu ini hanya menyasar kejahatan yang diatur dalam Undang-Undang Perindungan anak, lebih Spesifik Pasal 76D dan 76E tentang Persetubuhan dan Percabulan dengan anak. Perppu ini malah tidak menjawab persoalan Kejahatan Perdagangan Orang dan eksploitasi seksual yang melibatkan anak, Kekerasan dalam Rumah Tangga, kasus pedofil yang memanfaatkan regulasi dispensasi perkawinan dengan anak dan kasus-kasus lainnya di luar lingkup Pasal 76D dan 76E UU Perlindungan anak.
Ketiga, Pemberatan pidana dalam Perppu ini sangat emosional namun tanpa perumusan hukum yang rasional dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada. Pidana minimum khusus masih dipertahankan, kali ini, minimal dapat mencapai 5 sampai 10 tahun penjara. Pidana maksimal mencapai 15 tahun sampai 20 tahun dengan beberapa syarat. Selain itu, Pemerintah juga memperberat 1/3 dari pidana tersebut dalam beberapa kondisi semisal pengulangan tindak pidana dan pidana dilakukan oleh orang-orang yang dipercaya dan seharusnya melindungi anak. Tidak jelas apakah pemberatan bisa dilakukan dua kali atau hanya satu kali. Pemberatan ini bisa dipahami, namun yang menjadi soal, bagaimana teknis penjatuhannya pidananya? Nampaknya penyusun Perppu ini perlu membaca ulang KUHP. Dalam Pasal 12 ayat (4) KUHP disebutkan bahwa pidana penjara maksimal adalah 20 tahun penjara, artinya dalam hal pidana diancam dengan pidana 20 tahun penjara, pemberatan penjara mencapai 1/3, tidak dapat lagi diberikan. Dalam hal pidana diancam 15 tahun, pemberatan juga hanya dilakukan satu kali antara pengulangan tindak pidana dan pidana dilakukan oleh orang-orang yang dipercaya dan seharusnya melindungi anak.
Pidana minimal 10 tahun juga tidak rasional, alasannya, pidana ini akan mengunci Pengadilan untuk menjatuhkan pidana, tidak akan ada lagi pertimbangan tentang berat ringannya perbuatan pelaku dan imbasnya pidana dijatuhkan oleh Pengadilan tidak lagi dilakukan secara proporsional. Sebagai perbandingan, pidana 10 tahun setara dengan Pasal 354 ayat (2) KUHP tentang Penganiayaan Berat yang mengakibatkan Kematian. Pemerintah terlihat tidak memiliki analisis dan kajian yang cukup terkait mengukur besar rendahnya ancaman pidana. Memasang pidana minimal 10 tahun menunjukkan bahkan Presiden dan Pemerintah RI tidak lagi percaya dengan kinerja peradilan di Indonesia.
Keempat, PERPPU ini memperkenalkan konsep tindakan, ada dua tindakan yaitu kebiri dan pemasangan Cip. Sebelum membahas terkait pemasangan Cip dan Kebiri Kimiawi yang tidak pernah diatur di hukum Indonesia, kami melihat apakah posisi pemasangan cip dan pelaksanaan kebiri kimiawi tidak melanggar Hak Asasi Manusia yang berlaku? Perumusan Perppu No 1 Tahun 2016 bisa jadi tidak melalui proses harmonisasi yang memadai sehingga pengaturan pemasangan Cip dan Kebiri Kimiawi menjadi tidak rasional untuk dijadikan sebagai salah satu jenis sanksi. Sayangnya, pengaturan pemidanaan yang dianut dalam Perppu No 1 Tahun 2016 semakin membuat pengaturan pidana di Indonesia menjadi amburadul karena pengaturan harmonisasi yang berantakan.
Kelima, Terkait pemasangan Cip, sebelumnya tidak satupun peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengenal istilah “cip”, bahkan penjelasannya tidak ditemukan dalam PERPPU ini. Satu-satunya petunjuk adalah pemasangan Cip dilaksanakan selama dan/atau setelah terpidana menjalani pidana pokok, apabila terkait pebuatan cabul atau dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok apabila terkait persetubuhan dengan anak. Di sini tidak dijelaskan apa fungsi dari cip ini, apabila maksudnya untuk melacak keberadaan orang yang dipasangi cip, maka aneh apabila cip dipasang selama terpidana menjalani pidana pokok. Pemasangan cip ini pada dasarnya lebih mirip mekanisme teknis dari pada tindakan. Hemat kami, para penyusun Perppu agak kerepotan untuk mengidentifikasi sendiri bagaimana pengaturan Cip tersebut, sehingga meletakkannya seakan-akan pemasangan Cip adalah sanksi berupa tindakan.
Keenam, tindakan kebiri menjadi salah satu jantung dari pengaturan PERPPU ini. Kebiri kimiawi ditempatkan sebagai tindakan, yang dijatuhkan sebagai pilihan oleh hakim, artinya hakim bisa memilih menjatuhkan tindakan kebiri atau tidak. Tidak ada konsep kesepakatan dari orang yang akan dikebiri, melihat dari pernyataan Menteri Sosial sebelumnya yang meminta perbandingan dengan negara seperti Inggris, Australia dan Jerman, maka Kebiri harusnya dilaksanakan secara voluntary atau sukarela. Pemaksaan seperti ini akan mengakibatkan terjadinya penyiksaan dan melanggengkan kondisi balas dendam yang mungkin terjadi.
Kebiri dilaksanakan selama dan/atau setelah terpidana menjalani pidana pokok apabila terkait pebuatan cabul atau dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok apabila terkait persetubuhan dengan anak. Pengaturan ini juga cukup membuat pertanyaan karena apabila kebiri dilaksanakan selama terpidana menjalani pidana pokok, sebab efek dari kebiri kimiawi tidaklah permanen dan membutuhkan penanganan yang simultan. Kalaupun suntikan dilakukan selama 2 tahun setelah pidana pokok, lalu bagaimana apabila pidana pokok adalah pidana mati atau seumur hidup?
Kami berpandangan apabila kebiri dinyatakan sebagai pidana tindakan seharusnya tidak dijatuhkan bersamaan dengan pidana pokok. Sayangnya dalam Perppu ini, kebiri dilaksanakan selama dan/atau setelah pidana pokok dengan diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan. Artinya, konsep tindakan yang selama ini dikenal dalam perundang-undangan di Indonesia diatur secara berbeda dalam PERPPU ini. Dalam Pasal 81 ayat (3) PERPPU ini dijelaskan bahwa Pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi. Tidak jelas apakah rehabilitasi yang dimaksudkan adalah kebiri itu sendiri atau tindakan rehabilitasi lainnya. Perppu No 1 Tahun 2016 tidak menjelaskan bagaimana rehabilitasi yang akan dilakukan, padahal berdasarkan rekomendasi banyak pihak termasuk kalangan dokter, rehabilitasi menjadi pendekatan paling rasional dalam konteks pedofil.
Ketujuh, PERPPU ini terlihat seperti berusaha memposisikan Kebiri sebagai keputusan yang tepat, seakan penanganan pada pelaku dengan rehabilitasi dan tindakan kebiri akan memperbaiki konsep pencegahan. Namun, nampaknya pemerintah masih lebih mencari popularitas dari pada solusi, sebab masih ditemukan adanya Pidana Mati. Pidana Mati secara serta merta mengkhianati tujuan dari rehabilitasi dan tindakan itu sendiri. Sebab tidak akan ada kesempatan kedua bagi orang yang dipidana mati.
Adanya pidana mati juga menunjukkan jalan instan dari pemerintah untuk mempersempit makna dari penanganan komprehensif kekerasan seksual anak. Pidana mati adalah cara paling mudah untuk menunjukkan pada masyarakat bahwa pemerintah tegas, namun sebenarnya pidana mati justru bukti bahwa pemerintah sudah putus asa dan tidak dapat lagi bekerja secara baik untuk menangani kasus-kasus kekerasan seksual anak. Dilain sisi, klaim pemerintah yang menyatakan mendapat dukungan pidana mati, menunjukkan bahwa masyarakat sedang tidak percaya pada penanganan kekerasan seksual yang selama ini dijalankan pemerintah, sehingga pidana mati adalah salah satu cara untuk memuaskan amarah masyarakat yang kecewa dengan kinerja dari Pemerintah.
Kedelapan, biaya menjadi hal menarik yang perlu ditelusuri, berapa biaya yang akan dikeluarkan pemerintah? Dalam PERPPU telah dijelaskan bahwa dalam putusan hakim akan dipastikan berapa lama kebiri dilakukan. Ada dua kemungkinan, selama pidana pokok artinya kebiri dilakukan di penjara, atau 2 tahun pasca penjatuhan pidana pokok. Skema ini mensyaratkan Pemerintah harus menganggarkan biaya yang begitu besar untuk melakukan penyuntikan, yang dalam pengalaman beberapa Negara harus diberikan secara rutin selama 2 minggu sekali. Maka apabila terpidana dijatuhi pidana minimal saja dalam Pasal 81, maka akan ada biaya minimal 240 kali suntikan. Atau dengan skema 2 tahun pasca pidana pokok maka akan ada tambahan sekitar 48 suntikan. Biaya ini belum temasuk biaya pengawasan oleh beberapa kementerian. Selain itu, juga perlu dipikirkan terkait pemasangan Cip. Sampai saat ini tidak dijelaskan berapa biaya yang akan keluar untuk pemasangan cip bagi pelaku. Belum diketahuinya cara kerja Cip ini bisa jadi akan membengkakkan biaya, seperti biaya tekhnologi dan operatornya.
Kesembilan, dalam PERPPU Kebiri ini pemerintah jelas tidak memperhatikan korban. Tidak satu katapun yang menyebutkan penguatan hak korban, tidak kompensasi tidak juga perbaikan fasilitas peradilan atau penanganan untuk korban, semua fokus terpusat pada pelaku. Berbeda dengan pelaku yang dimanjakan PERPPU ini, korban tidak diberikan konsep rehabilitasi, tidak ada skema penambahan biaya, tidak ada skema pendambahan hak, tidak ada skema pengawasan dan pendampingan.
Kegentingan ini yang harusnya menjadi fokus dari pemerintah. Pendekatan pidana semata sampai saat ini terbukti tidak membuahkan hasil. Ketimpangan perhatian pemerintah terhadap Pelaku dan korban menunjukkan bahwa ada yang salah dari kebijakan hukum Pemerintahan Joko Widodo.
Berdasarkan analisis diatas maka kami berkesimpulan sebagai berikut:
Pertama, PERPPU ini tidak akan dapat secara efektif menekan angka kejahatan seksual termasuk kejahatan seksual terhadap anak di Indonesia.
Kedua, PERPPU ini menunjukkan bahwa politik hukum pidana yang dianut pemerintah tidak berdasarkan kajian dan alasan yang rasional namun mendasarkan pada alasan-alasan emosional dan irasional.
Ketiga, PERPPU ini juga menunjukkan bahwa pemerintah tidak pernah memiliki basis data yang cukup baik terkait angka kekerasan seksual yang dilaporkan, dituntut, dan disidangkan, serta kajian residivis sepanjang mengenai kejahatan seksual. Sehingga PERPPU ini dikeluarkan tanpa adanya basis kajian mengenai cost-benefit analisis yang seharusnya menjadi syarat utama kebijakan kriminalisasi.
Keempat, PERPPU ini juga dapat menjadi dasar untuk membuka lebih luas peluang korupsi di dalam sistem peradilan pidana karena persoalan penegakkan hukum yang lebih krusial untuk diatur justru tidak ditemukan pengaturannya.
Kelima, Posisi korban akan semakin lemah karena pengaturan rehabilitas yang komprehensif bagi korban kekerasan seksual tidak diatur dalam PERPPU ini


Comments

Popular posts from this blog

RAWON PAK JENGGOT RAWAN DIBUNGKUS

Tak dapat diragukan lagi warung Pojok Pak Bajil yang terletak di Jalan Terusan Pulosari Pojok-Kota Malang- Jawa Timur, menjadi salah satu warung favorit yang dikunjungi oleh anak-anak muda untuk memenuhi hasrat perut. Hanya ada 5 menu di warung tersebut diantaranya: Sayap Setan, Nasi Rawon, Nasi Kare, Nasi Soto dan Nasi Campur. Yang menjadi favorit ialah Nasi Rawon. Menurut Dewanti (28) Mahasiswi Universitas Merdeka Malang, yang merupakan salah pelanggan, saat dijumpai di warung Pojok Pak Bajil, Sabtu (29/4/2017) “biasanya aku dan teman-teman sering makan disini dan yang kami pesan pasti rawon. Rawonnya ngangenin kalau di tempat lain rawonnya bisa dibungkus di sini gak bisa. Itu yang buat aku dan teman-teman ku kalau pesannya pasti rawon", sambil tersenyum. Dewanti pun menambahkan, beda lho dengan menu yang lain bisa dibungkus. Aku lho sempat nanya pemiliknya pak kenapa rawonnya gak bisa dibungkus? Kata pemiliknya gak ada tempat mba. Sementara Dodi (21) Mahasi...

ANGKUTAN HUKUM BERBASIS CINTA

Cintanya anak hukum berdasarkan asas, "cogitationis poenam nemo patitur" yakni "orang tidak boleh dihukum oleh sebab apa yang dipikirkannya" artinya Niat dalam hati tidak cukup membuktikan ada rasa cinta sebelum dinyatakan. Niat harus ditunjukan dengan permulaan perbuatan "begin van uitvoering" yang dalam teori poging subyektif, maksudnya adalah "Perbuatan itu adalah pelaksanaan niat". Menurut anak hukum cinta harus didukung dengan bukti permulaan yang cukup. Setidak-tidaknya ada dua alat bukti yang sah. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 dan Pasal 183 KUHAP atau asas “unus testis nullus testis”. Anak hukum juga memegang asas "qui tacet consentire videtur", yang artinya: Siapa yang berdiam diri dianggap menyetujui. Oleh karena itu, perlu waspada apabila ada anak hukum yang menyatakan cinta ke kalian berarti harus dijawab, karena bila tidak dijawab berarti setuju atau menerima cintanya. Di sisi lain, meskipun kalian diam atau ...

Permasalahan Hukum Di Indonesia

PERMASALAHAN HUKUM DI INDONESIA Saat ini tidak mudah untuk memaparkan kondisi hukum di Indonesia tanpa adanya keprihatinan yang mendalam mendengar ratapan masyarakat yang terluka oleh hukum, dan kemarahan masyarakat pada mereka yang memanfaatkan hukum untuk mencapai tujuan mereka tanpa menggunakan hati nurani. Dunia hukum di Indonesia tengah mendapat sorotan yang amat tajam dari seluruh lapisan masyarakat, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Dari sekian banyak bidang hukum, dapat dikatakan bahwa hukum pidana menempati peringkat pertama yang bukan saja mendapat sorotan tetapi juga celaan yang luar biasa dibandingkan dengan bidang hukum lainnya. Bidang hukum pidana merupakan bidang hukum yang paling mudah untuk dijadikan indikator apakah reformasi hukum yang dijalankan di Indonesia sudah berjalan dengan baik atau belum. Hukum pidana bukan hanya berbicara tentang putusan pengadilan atas penanganan perkara pidana, tetapi juga meliputi semua proses dan sistem peradilan pidana. Pro...