PERMASALAHAN HUKUM DI
INDONESIA
Saat ini tidak mudah
untuk memaparkan kondisi hukum di Indonesia tanpa adanya keprihatinan yang
mendalam mendengar ratapan masyarakat yang terluka oleh hukum, dan kemarahan
masyarakat pada mereka yang memanfaatkan hukum untuk mencapai tujuan mereka
tanpa menggunakan hati nurani. Dunia hukum di Indonesia tengah mendapat sorotan
yang amat tajam dari seluruh lapisan masyarakat, baik dari dalam negeri maupun
luar negeri. Dari sekian banyak bidang hukum, dapat dikatakan bahwa hukum
pidana menempati peringkat pertama yang bukan saja mendapat sorotan tetapi juga
celaan yang luar biasa dibandingkan dengan bidang hukum lainnya. Bidang hukum
pidana merupakan bidang hukum yang paling mudah untuk dijadikan indikator
apakah reformasi hukum yang dijalankan di Indonesia sudah berjalan dengan baik
atau belum. Hukum pidana bukan hanya berbicara tentang putusan pengadilan atas
penanganan perkara pidana, tetapi juga meliputi semua proses dan sistem
peradilan pidana. Proses peradilan berawal dari penyelidikan yang dilakukan
pihak kepolisian dan berpuncak pada penjatuhan pidana dan selanjutnya diakhiri
dengan pelaksanaan hukuman itu sendiri oleh lembaga pemasyarakatan. Semua
proses pidana itulah yang saat ini banyak mendapat sorotan dari masyarakat
karena kinerjanya, atau perilaku aparatnya yang jauh dari kebaikan.
Hukum di Indonesia yang
bisa kita lihat saat ini bisa dikatakan sebagai hukum yang carut marut,
mengapa? Karena dengan adanya pemberitaan mengenai tindak pidana di televisi,
surat kabar, dan media elektronik lainnya kita dapat mengambil kesimpulan bahwa
hukum di Indonesia carut marut. Banyak sekali kejadian yang menggambarkannya,
mulai dari tindak pidana yang diberikan oleh maling sandal hingga maling uang
rakyat. Sebenarnya permasalahan hukum di Indonesia dapat disebabkan oleh
beberapa hal diantaranya yaitu sistem peradilannya, perangkat hukumnya,
inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun perlindungan hukum.
Hukum Negara ialah
aturan bagi negara itu sendiri, bagaimana suatu negara menciptakan keadaan yang
relevan, keadaan yang menentramkan kehidupan sosial masyarakatnya,
menghindarkan dari segala bentuk tindak pidana maupun perdata. Namun tidak di
Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini, pemberitaan di media masa sungguh
tragis. Bahkan dari Hasil survei terbaru dari Lembaga Survei Indonesia (LSI)
menyebutkan bahwa 56,0 persen publik menyatakan tidak puas dengan penegakan
hukum di Indonesia, hanya 29,8 persen menyatakan puas, sedangkan sisanya 14,2
persen tidak menjawab. Sebuah fenomena yang menggambarkan betapa rendahnya
wibawa hukum di mata publik
Masalah utama penegakan
hukum di negara-negara berkembang khususnya Indonesia bukanlah pada sistem
hukum itu sendiri, melainkan pada kualitas manusia yang menjalankan hukum
(penegak hukum). Dengan demikian peranan manusia yang menjalankan hukum itu
(penegak hukum) menempati posisi strategis. Masalah transparansi penegak hukum
berkaitan erat dengan akuntabilitas kinerja lembaga penegak hukum.
Undang-undang No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan
bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, telah menetapkan beberapa asas.
Asas-asas tersebut mempunyai tujuan, yaitu sebagai pedoman bagi para
penyelenggara negara untuk dapat mewujudkan penyelenggara yang mampu
menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung
jawab.
Penegak hukum merupakan
golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan
tertentu, sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi
dan mendapatkan pengertian dari golongan sasaran (masyarakat), di samping mampu
membawakan atau menjalankan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Selain itu,
maka golongan panutan harus dapat memanfaatkan unsur-unsur pola tradisional
tertentu, sehingga menggairahkan partispasi dari golongan sasaran atau
masyarakat luas. Golongan panutan juga harus dapat memilih waktu dan lingkungan
yang tepat di dalam memperkenalkan norma-norma atau kaidah-kaidah hukum yang
baru serta memberikan keteladanan yang baik.
Namun sebagaimana yang
telah kita ketahui bahwa salah satu penyebab lemahnya penegakan hukum di
Indonesia adalah masih rendahnya moralitas aparat penegak hukum (hakim, polisi,
jaksa dan advokat ) serta judicial corruption yang sudah terlanjur
mendarah daging sehingga sampai saat ini sulit sekali diberantas. Adanya
judicial corruption jelas menyulitkan penegakan hukum di Indonesia karena para
penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum terlibat dalam praktek korupsi,
sehingga sulit diharapkan bisa ikut menciptakan pemerintahan yang baik atau
good governance. Penegakan hukum hanya bisa dilakukan apabila lembaga-lembaga
hukum (hakim, jaksa, polis dan advokat) bertindak profesional, jujur dan
menerapkan prinsip-prinsip good
governance.
Beberapa permasalahan
mengenai penegakan hukum, tentunya tidak dapat terlepas dari kenyataan, bahwa
berfungsinya hukum sangatlah tergantung pada hubungan yang serasi antara hukum
itu sendiri, penegak hukum, fasilitasnya dan masyarakat yang diaturnya.
Kepincangan pada salah satu unsur, tidak menutup kemungkinan akan mengakibatkan
bahwa seluruh sistem akan terkena pengaruh negatifnya. Misalnya, kalau hukum
tertulis yang mengatur suatu bidang kehidupan tertentu dan bidang-bidang
lainnya yang berkaitan berada dalam kepincangan. Maka seluruh lapisan
masyarakat akan merasakan akibat pahitnya.
Penegak hukum yang
bertugas menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas, meliputi:
petugas strata atas, menengah dan bawah. Maksudnya adalah sampai sejauhmana
petugas harus memiliki suatu pedoman salah satunya peraturan tertulis yang
mencakup ruang lingkup tugasnya. Dalam penegakkan hukum, menurut Soerjono
Soekanto sebagaimana dikutip oleh Zainuddin Ali, kemungkinan penegak hukum
mengahadapi hal-hal sebagai berikut:
a.
Sampai sejauhmana petugas terikat dengan
peraturan yang ada;
b.
Sampai batas-batas mana petugas berkenan
memberikan kebijakan;
c.
Teladan macam apakah yang sebaiknya
diberikan oleh petugas kepada masyarakat;
d.
Sampai sejauhmanakah derajat sinkronisasi
penugasan yang diberikan kepada para petugas sehingga memberikan batas-batas
yang tegas pada wewenangnya.
Lemahnya mentalitas
aparat penegak hukum mengakibatkan penegakkan hukum tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya mentalitas aparat penegak
hukum diantaranya lemahnya pemahaman agama, ekonomi, proses rekruitmen yang
tidak transparan dan lain sebagainya. Sehingga dapat dipertegas bahwa faktor
penegak hukum memainkan peran penting dalam memfungsikan hukum. Kalau peraturan
sudah baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah maka akan ada masalah.
Demikian juga, apabila peraturannya buruk sedangkan kualitas penegak hukum
baik, kemungkinan munculnya masalah masih terbuka.
Kondisi riil yang
terjadi saat ini di Indonesia mengindikasikan adanya kegagalan aparat-aparat
penegak hukum dalam menegakan hukum. Kegagalan penegakan hukum secara
keseluruhan dapat dilihat dari kondisi ketidakmampuan (unability) dan ketidakmauan (unwillingness)
dari aparat penegak hukum itu sendiri. Ketidakmampuan penegakan hukum
diakibatkan profesionalisme aparat yang kurang, sedangkan ketidakmauan
penegakan hukum berkait masalah KKN (korupsi kolusi dan nepotisme) yang
dilakukan oleh aparat hukum sudah menjadi rahasia umum. Terlepas dari dua hal
di atas lemahnya penegakan hukum di Indonesia juga dapat kita lihat dari
ketidakpuasan masyarakat karena hukum yang nota benenya sebagai wadah untuk
mencari keadilan bagi masyarakat, tetapi malah memberikan rasa ketidakadilan.
Akhir-akhir ini banyak
isu yang sedang hangat-hangat di perbincangkan salah satunya adalah
permasalahan korupsi. Kasus ini seakan sudah menjadi tradisi yang mendarah
daging di bangsa ini. Penyakit korupsi melanda seluruh lapisan masyarakat
bahkan yang menjadi perhatian saat ini adalah para aparat yang seharusnya
menjadi penegak dalam kasus ini juga ikut terkait di dalamnya. Salah satu
lembaga yang menjadi perhatian adalah lembaga peradilan.
Korupsi telah merambat
dan mengotori hampir seluruh institusi penegakan hukum kita termasuk lembaga
peradilan. Misalnya saja tentang salahnya penegakan hukum di Indonesia seperti
saat seseorang mencuri sandal, ia disidang dan didenda hanya karena mencuri
sandal seorang briptu yang harganya bisa dibilang murah, sedangkan para
koruptor di Indonesia bisa dengan leluasa merajalela, menikmati hidup seakan
tanpa dosa, karena mereka memandang rendah hukum yang ada di Indonesia. Kita
ambil contoh Arthalyta Suryani, yang menempati ruang tahanan yang terbilang
mewah dari tahanan yang lain karena lengkap dengan fasilitas televisi, kulkas,
AC, bahkan sampai ruang karokean. Hal ini kemudian memperlihatkan diskriminasi
di dalam pemutusan perkara oleh lembaga peradilan kita dimana rakyat miskin
yang tidak mempunyai kekuatan financial seakan hukum begitu runcing kepadanya
sedangkan para orang-orang yang berduit menganggap hukum itu bisa dibeli bahkan
saya anggap bahwa sel tahanan mereka tidak layaklah dikatakan sebagai sel
tetapi hotel sementara sedangkan rakyat miskin begitu merasakan yang namanya
sel tahanan
Hukum di negara kita ini
dapat diselewengkan atau disuap dengan mudahnya, dengan inkonsistensi hukum di
Indonesia. Selain lembaga peradilan, ternyata aparat kepolisianpun tidak lepas
dari penyelewengan hukum. Misalnya saat terkena tilang polisi lalu
lintas, ada beberapa oknum polisi yang mau atau bahkan terkadang minta suap
agar kasus ini tidak diperpanjang, polisinya pun mendapatkan keuntungan materi
dengan cepat namun salah tempat. Ini merupakan contoh kongkrit di lingkungan
kita.
Persamaan di hadapan
hukum yang selama ini di kampanyekan oleh pemerintah nyatanya tidak berjalan
dengan efektif. Hukum yang berlaku sekarang di Indonesia seakan-akan berpihak
kepada segelintir orang saja. Supremasi hukum di Indonesia masih harus
diperbaiki untuk mendapat kepercayaan masyarakat dan dunia internasional
tentunya terhadap sistem hukum Indonesia. Masih banyak kasus-kasus
ketidakadilan hukum yang terjadi di negara kita. Keadilan harus diposisikan
secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang
sama tanpa kecuali. Namun, keadaan yang sebaliknya terjadi di Indonesia. Hukum
seakan tajam kebawah namun tumpul keatas. Ini terbukti dengan banyaknya kasus
yang terjadi, contohnya saja kasus nenek Minah yang divonis 1,5 bulan penjara
karena mencuri tiga buah kakao. Dari segi manapun mencuri memang tidak
dibenarkan. Namun, kita juga harus melihat dari sisi kemanusiaan. Betapa tidak
adilnya ketika rakyat kecil seperti itu betul-betul ditekan sedangkan para
pejabat yang korupsi jutaan bahkan miliaran rupiah bebas begitu saja, walaupun
ada yang terjerat hukuman tapi penjaranya bagaikan kamar hotel.
Sebenarnya apa yang
terjadi dengan lembaga penegak hukum kita, sehingga justice for all (keadilan untuk semua) berubah menjadi justice not for all (keadilan untuk
tidak semua). Hukum di negara kita ini seakan tidak memperlihatkan cerminan
terhadap kesamaan di depan hukum yang merata kepada semua lapisan masyarakat
tetapi terkesan tajam kebawah kepada rakyat miskin tetapi tumpul keatas
terhadap mereka yang mempunyai uang. Berbagai kasus terkait dengan penegakan
hukum di Indonesia yang sangat memprihatinkan menjadi cambuk atau pukulan telak
serta menjadi potret buram bagi kita semua sebagai satu kesatuan dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini menjadi ironi tersendiri bagi kita.
Di Indonesia sendiri
hukum dibuat berlandaskan Pancasila serta UUD 1945. Dalam penegakkan hukum di
Indonesia memang terjadi beberapa masalah seperti ketidakmampuan suatu lembaga
keadilan dalam memberikan keadilan itu sendiri bagi masyarakat. Keadilan
dianggap suatu yang sulit untuk didapatkan terutama bagi masyarakat kelas bawah
yang sekiranya merupakan golongan yang tidak mampu dalam segi materi. Sekiranya
kita dapat melihat fakta yang terjadi di lapangan dengan berbagai macam kasus
yang ada dan melibatkan masyarakat kelas bawah. Beberapa kasus seperti
pencurian sendal yang dilakukan oleh seorang murid terhadap salah satu anggota
kepolisian misalnya, terdapat berbagai kejanggalan dalam kasus tersebut seperti
berbedanya sandal yang dimaksud serta adanya penganiayaan terhadap sang pelaku
oleh oknum polisi tersebut. Dengan hanya mencuri sepasang sendal jepit yang
kemungkinan pula bukan anak tersebut pelakunya, malah diberikan tuntutan
hukuman 5 tahun penjara. Adilkah itu? Masyarakat awam pun pasti mengetahui apa
yang dimaksud keadilan. Berbeda dengan kasus yang melibatkan rakyat kecil yang
seharusnya memang bisa diselesaikan dengan rasa keadilan serta kekeluargaan,
para pimpinan negara yang terhormat malah melakukan banyak korupsi dan tak
terselesaikan masalahnya.
Para penegak hukum
antara lain hakim, jaksa, polisi, advokat dan penasihat hukum. Di tangan
merekalah terletak suatu beban kewajiban untuk mengimplementasikan suatu prinsip
keadilan sebagaimana yang tercantum dalam sila kedua secara optimal dan
maksimal. Namun , hal sebaliknya terjadi di Indonesia. Banyak kasus penegakan
hukum yang tidak berjalan semestinya. Banyak keganjalan yang terjadi didalam
penegakan hukum itu seperti dengan mudahnya seseorang yang mempunyai uang
mendapatkan fasilitas di ruang tahanan atau ada beberapa kasus yang sangat
mengganjal keputusan yang di putuskan seperti kasus pencurian sandal diatas.
Penegakkan hukum dari
aparat kepolisian juga dinilai sangat kurang, bisa dilihat dengan banyaknya
penilangan kepada kendaraan bermotor yang berakhir dengan istilah UUD
(Ujung-Ujungnya Duit) atau biasa disebut uang sogokkan. Serta ada pula masalah
tentang kebijakkan-kebijakkan pemerintah yang dinilai kurang serta tidak
didasari dengan landasan hukum yang tepat. Seperti kebijakkan bagi pengendara
motor yang diharuskan menyalakan lampu utama pada siang hari yang dinilai
kurang realistis. Karena menyalakan lampu pada siang hari sama saja dengan
pemborosan energi, sesungguhnya cahaya matahari sudah cukup terang bagi
pengguna jalan. Dan alasan karena banyaknya terjadi kecelakaan siang hari oleh
para pengguna sepeda motor tentu bukan karena lampu atau cahaya yang kurang.
Dengan adanya pemanasan
global dan yang dicanangkan pemerintah tentang save energi-pun dipertanyakan
karena memang menyalakan lampu pada siang hari adalah pemborosan energi.
Beberapa Undang-undang yang seharusnya dibuat setiap tahun dengan jumlah yang
sudah ditetapkan pun molor sehingga hanya ada sedikit Undang-undang yang sudah
terealisasikan. Hal ini tentu menjadi catatan bagi pemerintah yang seharusnya
hukum itu untuk keteraturan serta tercipta kedamaian di negara kita menjadi
begitu tidak dapat diandalkan.
Selain dengan
masalah-masalah tersebut tentu dengan adanya hukum yang lemah maka ketahanan
negara juga akan lemah. Bisa kita lihat dari berbagai macam kasus tentang
perbatasan negara maupun pencaplokan wilayah dan budaya yang dilakukan oleh
negara tetangga. Pemerintah Indonesia sangat lamban dalam mengambil sikap dalam
hal pertahanan dan keamanan negara, adanya kesenjangan sosial di wilayah
perbatasan Indonesia serta kota-kota lain di Indonesia serta sarana dan
infrastruktur di daerah perbatasan yang sangat kurang menjadi masalah yang
harus ditanggapi serius oleh pemerintah. Masyarakat perbatasan tentu merasa
dianak tirikan oleh pemerintah karena tidak adanya peran pemerintah dalam
mengatasi hal tersebut, dan tentu hal ini menjadi senjata bagi negara lain
untuk dengan mudah mencaplok daerah perbatasan sebagai daerah negaranya karena
negara tersebut mengambil hati masyarakat dengan memberi berbagai macam
kebutuhan oleh negara tersebut berbeda dengan apa yang diberikan oleh
pemerintah Indonesia.
Hal tersebut menyebabkan
bahwa suatu hukum di Indonesia walaupun dibuat dengan berlandaskan pancasila
serta UUD 1945 namun dalam pelaksanaannya tidak ada jiwa pancasila yang melekat
dalam setiap penegak hukum serta pemerintah Indonesia. Dengan melemahnya hukum
di Indonesia tentu sedikit demi sedikit maka keadilan di Indonesia akan
terkikis dengan adanya sikap pemerintah yang seakan hanya mementingkan dirinya
sendiri, jabatan dan kekuasaan politik bagi diri dan partainya
Sungguh menjadi sesuatu
yang ironis ketika kepercayaan masyarakat kepada pemimpinnya menjadi berkurang,
dan ketika itulah masyarakat akan menjadi merasa tersakiti serta tak
mempercayai kepemerintahan negara, karena kepercayaan adalah salah satu tiang
keadilan dan kemakmuran. Ketika hukum yang hanya memihak golongan tertentu maka
keadilan juga akan memudar dan akan meruntuhkan derajat dan martabat negara.
Dengan runtuhnya derajat negara, runtuh pula negara tersebut dan akan mudah
bagi pihak-pihak yang merasa diuntungkan dengan situasi ini yaitu adanya
intervensi asing dalam masalah negara.
Karena intervensi itu
sendiri sudah mulai muncul ketika banyaknya media asing yang memberitakan
tentang bobroknya negara ini. Sebagai salah satu contohnya dimana ada media
asing yang memberitakan tentang masalah jembatan yang tak layak di Indonesia.
Masyarakat terutama para siswa yang ingin bersekolah harus menantang nyawa
dengan menyebrangi sungai hanya dengan seutas tali. Dimana peran pemerintah?
Hanya ada janji yang entah kapan akan ditepati. Hukum memang salah satu cara
untuk memberikan keadilan, dan hukum seharusnya ditegakkan dengan bijaksana,
tegas dan apa adanya.
Selain beberapa faktor
diatas, faktor uang juga mempengaruhi penegakan hukum di Indonesia. Beberapa
kasus bisa menjadi cerminan lemahnya hukum di Indonesia ketika sudah
berbenturan dengan uang, misalnya saja kasus korupsi yang menjerat nama Gayus
Tambunan. Kasus ini memang sudah di selesaikan dipengadilan, tetapi walaupaun
Gayus telah ditempatkan di dalam penjara, nyatanya dia masih bebas untuk
berwisata ke Bali bahkan sampai keluar negeri yaitu Makau. Ini karena
lemahnya iman para petugas yang seharusnya menegakkan keadilan hukum
setegak-tegaknya kalau sudah dihadapkan dengan uang. Mereka tentunya
mengabulkan permintaan Gayus tersebut tidak dengan cuma-cuma, tetapi ada
imbalan yang diberikan kepada para petugas tersebut.
Beberapa kasus yang
diungkapkan sebelumnya seperti kasus Artalita, ini semua tidak lepas dari
lemahnya iman aparat yang bertugas menegakkan hukum ketika sudah di hadapkan
dengan uang. Apakah ini yang di namakan “uang berbicara”? Dan apakan hukum di
negeri ini semudah itu menjadi lunak? Kalau sudah seperti itu kita dapat
menilainya sendiri sebenarnya apa yang telah melanda hukum di negeri tercinta
kita ini, sehingga jangan heran kalau ada istilah yang kemudian muncul di
masyarakat kita tentang penegakkan hukum di Indonesia yaitu KUHP (Kasih Uang
Habis Perkara). Ini adalah cerminan bahwa rakyat Indonesia sudah mulai hilang
kepercayaan dengan penegakan hukum yang ada di Indonesia.
Penegakan hukum yang
carut-marut, kacau, dan mengesampingkan keadilan tersebut bisa saja
diminimalisir kalau seandainya hukum dikembalikan kepada fungsi aslinya, yaitu
untuk untuk menciptakan keadilan, ketertiban serta kenyamanan. Selain itu
sebagaimana menurut Soerjono Soekanto, hukum dapat berfungsi dengan baik
diperlukan keserasian dan hubungan antara empat faktor, yakni:
1.
Hukum dan peraturan itu sendiri.
Kemungkinannya adalah
bahwa terjadi ketidak cocokan dalam peraturan perundang-undangan mengenai
bidang-bidang kehidupan tertentu. Kemungkinan lainnya adalah ketidakcocokan
antara peraturan perundang-undangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum
kebiasaan. Kadangkala ketidakserasian antara hukum tertulis dengan hukum
kebiasaan, dan seterusnya.
2.
Mentalitas Petugas yang menegakkan hukum.
Penegak hukum antara
lain mencakup hakim, polisi, jaksa, pembela, petugas pemasyarakatan, dan
seterusnya. Apabila peraturan perundang-undangan sudah baik, akan tetapi jika
mental penegak hukum kurang baik, maka akan terjadi pada sistem penegakkan
hukum.
3.
Fasilitas yang diharapkan untuk mendukung
pelaksanaan hukum.
Kalau peraturan
perundang-undangan sudah baik dan juga mentalitas penegaknya baik, akan tetapi
fasilitas kurang memadai, maka penegakkan hukum tidak akan berjalan dengan
semestinya.
4.
Kesadaran dan kepatuhan hukum dari para
warga masyarakat.
Namun dipihak lain perlu
juga disadari bahwa penegakan hukum bukan tujuan akhir dari proses hukum karena
keadilan belum tentu tercapai dengan penegakan hukum, padahal tujuan akhirnya
adalah keadilan. Pernyataan di atas merupakan isyarat bahwa keadilan yang hidup
di masyarakat tidak mungkin seragam. Hal ini disebabkan keadilan merupakan
proses yang bergerak di antara dua kutub citra keadilan. Naminem Laedere semata
bukanlah keadilan, demikian pula Suum Cuique Tribuere yang berdiri sendiri
tidak dapat dikatakan keadilan. Keadilan bergerak di antara dua kutub tersebut.
Pada suatu ketika keadilan lebih dekat pada satu kutub, dan pada saat yang
lain, keadilan lebih condong pada kutub lainnya. Keadilan yang mendekati kutub
Naminem Laedere adalah pada saat manusia berhadapan dengan bidang-bidang
kehidupan yang bersifat netral. Akan tetapi jika yang dipersoalkan adalah
bidang kehidupan spiritual atau sensitif, maka yang disebut adil berada lebih
dekat dengan kutub Suum Cuique Tribuere. Pengertian tersebut mengisyaratkan
bahwa hanya melalui suatu tata hukum yang adil orang dapat hidup dengan damai
menuju suatu kesejahteraan jasmani maupun rohani.
Penegakan hukum yang
acap kali menciderai rasa keadilan, baik keadilan menurut pandangan yuridis
maupun keadilan menurut masyarakat. Hal inilah salah satu pemicu
ketidakpercayaan masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam
menegakan hukum di tengah masyarakat. Jika kita pandang dari kacamata sosiologi
hukum, kita dapat mengasumsisikan bahwa ada dua faktor yang paling menonjol
yang mempengaruhi aparat penegak hukum dalam menegakan hukum yaitu faktor
internal dan eksternal. Adapun faktor internal (yang berasal dari penegak hukum
itu sendiri) salah satu contoh, adanya kecenderungan dari aparat penegak hukum
dalam menegakan hukum berpedoman pada undang-undang semata sehingga
mengesampingkan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Selanjutnya
faktor eksternal (yang berasal dari luar penegak hukum itu sendiri) misalnya
ketika terjadi peristiwa hukum adanya kecenderungan masyarakat yang
menyelasaikan dengan caranya sendiri.
Lembaga hukum merupakan
lembaga penegak keadilan dalam suatu masyarakat, lembaga di mana masyarakat
memerlukan dan mencari suatu keadilan. Idealnya, lembaga hukum tidak boleh
sedikitpun bergoyah dalam menerapkan keadilan yang didasarkan atas ketentuan
hukum dan syari’at yang telah disepakati bersama. Hukum menjamin agar keadilan
dapat dijalankan secara murni dan konsekuen untuk seluruh rakyat tanpa
membedakan asal-usul, warna kulit, kedudukan, keyakinan dan lain sebagainya.
Jika keadilan sudah tidak ada lagi maka masyarakat akan mengalami ketimpangan.
Oleh karena itu, lembaga hukum dalam masyarakat madani harus menjadi tempat
mencari keadilan. Hal ini bisa diciptakan jika lembaga hukum tersebut
dihormati, dijaga dan dijamin integritasnya secara konsekuen.
Jika kita berkaca kepada
potret penegakan hukum di Indonesia setelah menilik dari berbagai kasus
(menurut penulis) belumlah berjalan dengan baik, bahkan bisa dikatakan buruk.
Lemahnya penegakan hukum di Indonesia saat ini dapat tercermin dari berbagai
penyelesaian kasus besar yang belum tuntas salah satunya praktek korupsi yang
menggurita, namun ironisnya para pelakunya sangat sedikit yang terjerat oleh
hukum. Kenyataan tersebut justru berbanding terbalik dengan beberapa kasus yang
melibatkan rakyat kecil, dalam hal ini aparat penegakkan hukum cepat tanggap,
karena sebagaimana kita ketahui yang terlibat kasus korupsi merupakan kalangan
berdasi alias para pejabat dan orang-orang berduit yang memiliki kekuatan (power) untuk menginterfensi efektifitas
dari penegakan hukum itu sendiri.
Realita penegakan hukum
yang demikian sudah pasti akan menciderai hati rakyat kecil yang akan berujung
pada ketidakpercayaan masyarakat pada hukum, khususnya aparat penegak hukum itu
sendiri. Sebagaimana sama-sama kita ketahui para pencari keadilan yang note
bene adalah masyarakat kecil sering dibuat frustasi oleh para penegak hukum
yang nyatanya lebih memihak pada golongan berduit. Sehingga orang sering
menggambarkan kalau hukum Indonesia seperti jaring laba-laba yang hanya mampu
menangkap hewan-hewan kecil, namun tidak mampu menahan hewan besar tetapi hewan
besar tersebutlah yang mungkin menghancurkan seluruh jaring laba-laba.
Problematika penegakan
hukum yang mengandung unsur ketidakadilan mengakibatkan adanya isu mafia
peradilan, keadilan dapat dibeli, munculnya bahasa-bahasa yang sarkastis dengan
plesetan HAKIM (Hubungi Aku Kalau Ingin Menang), KUHAP diplesetkan sebagai
Kurang Uang Hukuman Penjara, UUD (Ujung-Ujungnya Duit) tidaklah muncul begitu
saja. Kesemuanya ini merupakan “produk sampingan” dari bekerjanya
lembaga-lembaga hukum itu sendiri. Ungkap-ungkapan ini merupakan reaksi dari
rasa keadilan masyarakat yang terkoyak karena bekerja lembaga-lembaga hukum
yang tidak profesional maupun putusan hakim/putusan pengadilan yang semata-mata
hanya berlandaskan pada aspek yuridis. Berlakunya hukum di tengah-tengah
masyarakat, mengemban tujuan untuk mewujudkan keadilan, kepastian hukum dan
kemanfaatan dan pemberdayaan sosial bagi masyarakatnya.
Comments
Post a Comment